Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang sering disingkat AMDAL, 
merupakan reaksi terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia 
yang semakin meningkat. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrem sampai 
menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi 
tinggi. Dengan ini timbullah citra bahwa gerakan lingkungan adalah anti 
pembangunan dan anti teknologi tinggi serta menempatkan aktivis 
lingkungan sebagai lawan pelaksana dan perencana pembangunan. Karena itu
 banyak pula yang mencurigai AMDAL sebagai suatu alat untuk menentang 
dan menghambat pembangunan.
Dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat, yaitu National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969. NEPA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Dalam NEPA pasal 102 (2) (C) menyatakan,
“Semua usulan legilasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang 
akan diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan 
diharuskan disertai laporan Environmental Impact Assessment (Analsis Dampak Lingkungan) tentang usulan tersebut”.
AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya 
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 
Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun 
metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP 
No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 
tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. 
Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 
Tahun 1993 perlu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, 
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Melalui 
PP No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat 
lebih optimal.
Pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan/atau merusak 
lingkungan hidup adalah pembangunan yang memperhatikan dampak yang dapat
 diakibatkan oleh beroperasinya pembangunan tersebut. Untuk menjamin 
bahwa suatu pembangunan dapat beroperasi atau layak dari segi 
lingkungan, perlu dilakukan analisis atau studi kelayakan pembangunan 
tentang dampak dan akibat yang akan muncul bila suatu rencana 
kegiatan/usaha akan dilakukan.
AMDAL adalah singkatan dari analisis mengenai dampak lingkungan. 
Dalam peraturan pemerintah no. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai 
dampak lingkungan disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai 
dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha 
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang 
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan 
usaha dan/atau kegiatan. Kriteria mengenai dampak besar dan penting 
suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain:
a.       jumlah manusia yang terkena dampak
b.      luas wilayah persebaran dampak
c.       intensitas dan lamanya dampak berlangsung
d.      banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak
e.       sifat kumulatif dampak
f.       berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampa
Sabtu, 21 Desember 2013
Perencanaan Fisik Pembangunan (Skema Proses Perencanaan)
-  Perencanaan
 fisik pembangunan pada hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu usaha 
pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup 
manusia dengan berbagai kegiatan fisiknya. 
 
Bidang Perencanaan Fisik & Prasarana Wilayah
Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Wilayah, mempunyai tugas:
· Membantu Kepala BAPPEDA dalam melaksanakan sebagian tugas pokok dibidang perencanaan fisik dan prasarana.
· Mengumpulkan
 dan mempelajari peraturan perundang-undangan, kebijakan pedoman dan 
petunjuk teknis bidang perencanaan fisik dan prasarana wilayah.
· Menyusun perencanaan pembangunan bidang PU, Perumahan, Perhubungan, LH dan penataan ruang.
· Mengkoordinasikan dan memadukan rencana pembangunan bidang PU, Perumahan, perhubungan, LH dan penataan ruang.
· Melaksanakan
 inventarisasi permasalahan di bidang fisik dan prasarana Wilayah serta 
merumuskan langkah-langkah kebijakan pemecahan masalah.
· Melakukan
 dan mengkordinasikan penyusunan program tahunan di bidang fisik dan 
prasarana Wilayah yang meliputi bidang PU, Perumahan, Perhubungan, LH 
dan Penataan ruang dalam rangka pelaksanaan RENSTRA Daerah atau 
kegiatan-kegiatan yang diusulkan kepada Pemerintah Provinsi dan 
Pemerintah Pusat.
· Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana dibagi menjadi dua Sub Bidang yaitu, Sub Bidang Tata Ruang & Lingkungan dan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
-Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan
Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan mempunyai tugas:
· Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di bidang tat ruang dan lingkungan.
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program Tata Ruang dan Lingkungan yang serasi.
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan Tata Ruang dan Lingkungan.
· Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan sub bidang Tata Ruang dan Lingkungan.
· Melaksanakan
 inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan 
serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
· Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Melaksanakan tugas laun yang diperintahkan oleh atasan.
-Sub Bidang Prasarana Wilayah
Sub Bidang Prasarana Wilayah mempunyai tugas:
· Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di Sub Budang Prasarana Wilayah
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program bidang Prasarana Wilayah
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan PU, Perumahan dan Perhubungan.
· Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
· Melaksanakan
 inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Prasarana Wilayah serta 
merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
· Memberikan saran dan pertimbangan kepada aasan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
Bidang Perencanaan, Sarana dan Prasarana 
Bidang Perencanaan Fisik dan Tata Ruang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Bappeda dengan lingkup perencanan tata ruang, sarana dan prasarana.
Untuk melaksanakan tugas pokok, Perencanaan Tata Ruang, Sarana dan Prasarana mempunyai fungsi :
Bidang Perencanaan Fisik dan Tata Ruang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Bappeda dengan lingkup perencanan tata ruang, sarana dan prasarana.
Untuk melaksanakan tugas pokok, Perencanaan Tata Ruang, Sarana dan Prasarana mempunyai fungsi :
- Penyusunan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan lingkup perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana;
 - Penyusunan petunjuk teknis lingkup perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana;
 - Pembinaan dan pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana; dan
 - Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perencanaan lingkup perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana.
 
Kepala Bidang Fisik dan tata ruang membawahi 2 ( dua ) Sub Bidang  yaitu :
1. Pengembangan SDA dan Kerjasama Pembangunan, yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas bidang perencanaan fisik dan tata ruang lingkup tata ruang dan lingkungan hidup;
Untuk menjalankan tugas pokoknya, Pengembangan SDA dan Kerjasama Pembangunan hidup mempunyai fungsi:
1. Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
3. Pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup yang meliputi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Lingkungan Hidup, penyusunan rencana pembangunan pengelolaan kawasan tata ruang dan lingkungan hidup, serta kerjasama perencanaan pembangunan tata ruang dan lingkungan hidup
4. Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
2. Bidang Perencanaan dan Teknolgi mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Bidang Perencanaan fisik dan tata ruang lingkup infrastruktur dan prasarana Kabupaten.
1. Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
3. Pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten yang meliputi penyusunan Rencana pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten, serta kerjasama perencanaan Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
4. Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
Perencanaan Fisik Pembangunan
PERAN PERENCANAAN 
- Peran Perencanaan dalam 4 lingkup :
 
- Lingkup Nasional
 - Lingkup Regional
 - Lingkup Lokal
 - Lingkup Sektor Swasta
 
LINGKUP NASIONAL 
-  Kewenangan semua instansi di tingkat pemerintah pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral.
 
-  Departemen-departemen
 yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait 
dengan pengembangan wilayah antara lain adalah :
 
- Dept. Pekerjaan Umum
 - Dept. Perhubungan
 - Dept. Perindustrian
 - Dept. Pertanian
 - Dept. Pertambangan
 - Energi, Dept. Nakertrans.
 
-  Dalam hubungan ini peranan Bappenas dengan sendirinya juga sangat penting.
 
-  Perencanaan
 fisik pada tingkat nasional umumnya tidak mempertimbangkan distribusi 
kegiatan tata ruang secara spesifik dan mendetail.
 
-  Tetapi terbatas pada penggarisan kebijaksanaan umum dan kriteria administrasi pelaksanaannya.
 
LINGKUP REGIONAL 
-  Instansi
 yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkatan regional di
 Indonesia adalah Pemda Tingkat I, disamping adanya dinas-dinas daerah 
maupun vertikal (kantor wilayah).
 
-  Contoh;
 Dinas PU Propinsi, DLLAJR, Kanwil-kanwil. Sedang badan yang 
mengkoordinasikannya adalah Bappeda Tk. I di setiap provinsi. 
 
-  Walaupun
 perencanaan ditingkat kota dan kabupaten konsisten sejalan dengan 
ketentuan rencana pembangunan yang telah digariskan diatas (tingkat 
nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai 
kewenangan mengurus perencanaan wilayahnya sendiri 
 
-  Yang penting dalam hal ini pengertian timbal balik, koordinatif.
 
LINGKUP LOKAL 
-  Penanganan perencanaan pembangunan ditingkat local seperti Kodya atau kabupaten ini biasanya dibebankan pada dinas-dinas,
 
-  contoh: Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Kesehatan, Dinas PDAM.
 
-  Koordinasi perencanaan berdasarkan Kepres No.27 tahun 1980 dilakukan oleh BAPPEDA Tk.II.  
 
LINGKUP SWASTA 
-   Lingkup
 kegiatan perencanaan oleh swasta di Indonesia semula memang hanya 
terbatas pada skalanya seperti pada perencanaan perumahan, jaringan 
utiliyas, pusat perbelanjaan dll. 
 
-  Dewasa ini lingkup skalanya sudah luas dan hampir tidak terbatas.
 
-  Badan-badan
 usaha konsultan swasta yang menjamur adalah indikasi keterlibatan 
swasta yang makin meluas. Semakin luasnya lingkup swasta didasari pada 
berkembangnya tuntutan layanan yang semakin luas dan profesionalisme.
 
-  Kewenangan
 pihak swasta yang semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri 
bagi Instansi pemerinta maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi 
tolok ukur bagi tiap-tiap kompetitor (swasta dan pemerintah) dan 
berdampak pada peningkatan kualitas layanan/produk. 
 
-  Pihak
 swasta terkecil adalah individu atau perorangan. Peran individu juga 
sangat berpengaruh terhadap pola perencanaan pembangunan secara 
keseluruhan.
 
UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1964
UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1964 
TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk lbih menjamin ketentraman dan kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil dan makmur, seperti yang tersebut dalam manifesto politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan kerja di Perusahaan Swasta
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1, pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar;
2. undang-undang No. 10 Prp Tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 Tahun 1964;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
MEMUTUSKAN :
I. Mencabut ; "Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders" (Staatblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya atau yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila telah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termasuk dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termasuk dalam pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-basaran .
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termasuk dalam pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemogokan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah dan Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur didalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut diatas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut dalam pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi Buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dalan tingkat banding.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud dalam pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964
Pd. Presiden republik Indonesia
ttd
Dr. Subandrio
TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk lbih menjamin ketentraman dan kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil dan makmur, seperti yang tersebut dalam manifesto politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan kerja di Perusahaan Swasta
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1, pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar;
2. undang-undang No. 10 Prp Tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 Tahun 1964;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
MEMUTUSKAN :
I. Mencabut ; "Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders" (Staatblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya atau yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila telah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termasuk dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termasuk dalam pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-basaran .
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termasuk dalam pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemogokan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.
Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah dan Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur didalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut diatas.
Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut dalam pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi Buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.
Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dalan tingkat banding.
Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.
Pasal 11
Selama izin termaksud dalam pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.
Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.
Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964
Pd. Presiden republik Indonesia
ttd
Dr. Subandrio
UU No. 12 Th. 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
BAGIAN IV
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT
Pasal 10
(1) Buruh tidak boleh menjalankan
 pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau 
pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau 
keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 
35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 11
Buruh tidak boleh menjalankan 
pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan 
Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus 
dijalankan terus pada hari-hari raya itu.
Pasal 12
(1) Dalam hal-hal, dimana pada 
suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang 
tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas 
diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang 
ditetapkan dalam pasal 10 dan 11, akan tetapi waktu kerja itu tidak 
boleh lebih dari 54 jam seminggu.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.
Pasal 13
(1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.
Pasal 14
(1) Selain waktu istirahat 
seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan
 untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi 
idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.
Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi yang 
telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi 
kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2) Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.
Hukum dan Perjanjian
      
Perjanjian
 adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana 
diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya 
diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus 
yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian 
sewa menyewa, dan perjanjian pinjam - meminjam.
Perikatan adalah
 suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu 
berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk 
memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah
 suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana 
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 
Pengertian
 perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji 
kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk 
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu 
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam 
bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang 
mengandung janji - janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 
Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara 
dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak 
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain 
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan. Perikatan adalah suatu pengertian 
yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau 
suatu peristiwa. 
Perikatan,
 lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua 
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai 
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat 
ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
 alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus 
dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk 
berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain,
 dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik 
yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk 
ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi 
perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, 
melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu pokok persoalan tertentu.
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif.
 Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur 
kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan 
apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur 
keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi
 hukum.
Suatu
 persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di 
dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan
 dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. 
Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus 
dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan 
tegas dimasukkan di dalamnya. 
Menurut
 ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada
 saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang 
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap 
sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang 
bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya 
sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang 
diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian 
sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali 
tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah 
penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi 
suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib 
perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah 
beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Tempat
 tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu 
berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat 
inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan
 berlaku. Dalam
 hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri 
dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, 
pengakuan dan bukti sumpah.
Perjanjian
 harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan 
perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah 
perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata 
sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. 
Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan 
asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan 
perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
 kata sepakat.
Syarat
 pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu 
perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk 
membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun 
tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya 
saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi 
persyaratan formil.
Subyek
 hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau 
wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat 
itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam
 praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan 
kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban 
mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak 
melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih 
atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan 
atau tidak dilaksanakan.
Berdasar
 kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya 
mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga 
mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk 
perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa
 dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang 
menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang 
harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga 
perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa 
dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat 
terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang 
akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk 
dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa,
 dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan
 itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau 
bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, 
dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa 
pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa 
dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang 
bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini 
berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing 
kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda. 
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu:
1.      Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2.      Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3.      Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Perikatan hapus:
1.      Pembayaran.
2.      Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.      Pembaruan utang.
4.      Perjumpaanutangataukompensasi.
5.      percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang.
6.      Kebatalan atau pembatalan.
7.      Berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu. 
Tiap
 perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti 
orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan 
dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak 
ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau 
asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia 
bertindak atas namanya sendiri.
Undang Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang : Penataan Ruang
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 24 TAHUN 1992 (24/1992)
Tanggal : 13 OKTOBER 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/115; TLN NO. 3501
 
 BAB I
KETENTUAN UMUM
Menjelaskan tentang penataan ruang sebagai mana fungsinya,
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Penataan ruang berasaskan:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya
guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Penataan ruang bertujuan:
a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung
dan kawasan budi daya;
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud
(1) Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan
nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas
ruang.
BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
Bagian Kedua
Perencanaan
Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas
rencana tata ruang.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.
BAB V
RENCANA TATA RUANG
Rencana tata ruang dibedakan atas:
a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II.
BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN
Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG
1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi
manusia dan makhluk lainnya hidup, dan melakukan kegiatannya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi
dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan
pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan
hidup yang berkualitas.
2. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara
meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen
di sekitarnya, di mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau
kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
3. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan
penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang
atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan,
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
4. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari
berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing
subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung
yang berbeda satu dengan yang lainnya.
5. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan
peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem yang
harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna
menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang.
Langganan:
Komentar (Atom)