Sabtu, 21 Desember 2013

AMDAL

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang sering disingkat AMDAL, merupakan reaksi terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia yang semakin meningkat. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrem sampai menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. Dengan ini timbullah citra bahwa gerakan lingkungan adalah anti pembangunan dan anti teknologi tinggi serta menempatkan aktivis lingkungan sebagai lawan pelaksana dan perencana pembangunan. Karena itu banyak pula yang mencurigai AMDAL sebagai suatu alat untuk menentang dan menghambat pembangunan.
Dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat, yaitu National Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969. NEPA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Dalam NEPA pasal 102 (2) (C) menyatakan,
“Semua usulan legilasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang akan diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan diharuskan disertai laporan Environmental Impact Assessment (Analsis Dampak Lingkungan) tentang usulan tersebut”.
AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Melalui PP No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.
Pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan/atau merusak lingkungan hidup adalah pembangunan yang memperhatikan dampak yang dapat diakibatkan oleh beroperasinya pembangunan tersebut. Untuk menjamin bahwa suatu pembangunan dapat beroperasi atau layak dari segi lingkungan, perlu dilakukan analisis atau studi kelayakan pembangunan tentang dampak dan akibat yang akan muncul bila suatu rencana kegiatan/usaha akan dilakukan.
AMDAL adalah singkatan dari analisis mengenai dampak lingkungan. Dalam peraturan pemerintah no. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain:
a.       jumlah manusia yang terkena dampak
b.      luas wilayah persebaran dampak
c.       intensitas dan lamanya dampak berlangsung
d.      banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak
e.       sifat kumulatif dampak
f.       berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampa

Perencanaan Fisik Pembangunan (Skema Proses Perencanaan)

     Perencanaan fisik pembangunan pada hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisiknya. 

Bidang Perencanaan Fisik & Prasarana Wilayah

Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Wilayah, mempunyai tugas:
· Membantu Kepala BAPPEDA dalam melaksanakan sebagian tugas pokok dibidang perencanaan fisik dan prasarana.
· Mengumpulkan dan mempelajari peraturan perundang-undangan, kebijakan pedoman dan petunjuk teknis bidang perencanaan fisik dan prasarana wilayah.
· Menyusun perencanaan pembangunan bidang PU, Perumahan, Perhubungan, LH dan penataan ruang.
· Mengkoordinasikan dan memadukan rencana pembangunan bidang PU, Perumahan, perhubungan, LH dan penataan ruang.
· Melaksanakan inventarisasi permasalahan di bidang fisik dan prasarana Wilayah serta merumuskan langkah-langkah kebijakan pemecahan masalah.
· Melakukan dan mengkordinasikan penyusunan program tahunan di bidang fisik dan prasarana Wilayah yang meliputi bidang PU, Perumahan, Perhubungan, LH dan Penataan ruang dalam rangka pelaksanaan RENSTRA Daerah atau kegiatan-kegiatan yang diusulkan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.
· Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana dibagi menjadi dua Sub Bidang yaitu, Sub Bidang Tata Ruang & Lingkungan dan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
-Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan
Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan mempunyai tugas:
· Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di bidang tat ruang dan lingkungan.
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program Tata Ruang dan Lingkungan yang serasi.
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan Tata Ruang dan Lingkungan.
· Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan sub bidang Tata Ruang dan Lingkungan.
· Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
· Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Melaksanakan tugas laun yang diperintahkan oleh atasan.
-Sub Bidang Prasarana Wilayah
Sub Bidang Prasarana Wilayah mempunyai tugas:
· Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di Sub Budang Prasarana Wilayah
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program bidang Prasarana Wilayah
· Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan PU, Perumahan dan Perhubungan.
· Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
· Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Prasarana Wilayah serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
· Memberikan saran dan pertimbangan kepada aasan sesuai dengan bidang tugasnya.
· Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
 
 
Bidang Perencanaan, Sarana dan Prasarana 
Bidang Perencanaan Fisik dan Tata Ruang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Bappeda dengan lingkup perencanan tata ruang, sarana dan prasarana.
Untuk melaksanakan tugas pokok, Perencanaan Tata Ruang, Sarana dan Prasarana mempunyai fungsi :
  • Penyusunan bahan perumusan kebijakan teknis  perencanaan lingkup  perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana;
  • Penyusunan petunjuk teknis lingkup perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana;
  • Pembinaan dan pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup  perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana; dan
  • Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan  pelaksanaan perencanaan lingkup  perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana.
 
Kepala Bidang Fisik dan tata ruang membawahi 2 ( dua ) Sub Bidang  yaitu :

1. Pengembangan SDA dan Kerjasama Pembangunan, yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas bidang perencanaan fisik dan tata ruang lingkup tata ruang dan lingkungan hidup;
Untuk menjalankan tugas pokoknya,  Pengembangan SDA dan Kerjasama Pembangunan hidup mempunyai fungsi:
1.  Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
2.  Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
3.  Pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup yang meliputi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Lingkungan Hidup, penyusunan rencana  pembangunan pengelolaan kawasan  tata ruang dan lingkungan hidup, serta kerjasama perencanaan pembangunan tata ruang dan lingkungan hidup
4.  Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup

2. Bidang Perencanaan dan Teknolgi  mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Bidang Perencanaan fisik dan tata ruang lingkup infrastruktur dan prasarana Kabupaten.
Untuk menjalankan tugas pokoknya, Sub Perencanaan dan Teknolgi Kabupaten mempunyai fungsi :
1.    Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
2.    Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
3.  Pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten yang meliputi penyusunan Rencana pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten,  serta kerjasama perencanaan Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
4.    Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten



 

Perencanaan Fisik Pembangunan

PERAN PERENCANAAN 
    Peran Perencanaan dalam 4 lingkup :
    • Lingkup Nasional
    • Lingkup Regional
    • Lingkup Lokal
    • Lingkup Sektor Swasta
LINGKUP NASIONAL 
     Kewenangan semua instansi di tingkat pemerintah pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral.
     Departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan pengembangan wilayah antara lain adalah :
      • Dept. Pekerjaan Umum
      • Dept. Perhubungan
      • Dept. Perindustrian
      • Dept. Pertanian
      • Dept. Pertambangan
      • Energi, Dept. Nakertrans. 
     Dalam hubungan ini peranan Bappenas dengan sendirinya juga sangat penting.
     Perencanaan fisik pada tingkat nasional umumnya tidak mempertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara spesifik dan mendetail.
     Tetapi terbatas pada penggarisan kebijaksanaan umum dan kriteria administrasi pelaksanaannya.
     
LINGKUP REGIONAL 
     Instansi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkatan regional di Indonesia adalah Pemda Tingkat I, disamping adanya dinas-dinas daerah maupun vertikal (kantor wilayah).
     Contoh; Dinas PU Propinsi, DLLAJR, Kanwil-kanwil. Sedang badan yang mengkoordinasikannya adalah Bappeda Tk. I di setiap provinsi. 
     Walaupun perencanaan ditingkat kota dan kabupaten konsisten sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah digariskan diatas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai kewenangan mengurus perencanaan wilayahnya sendiri 
     Yang penting dalam hal ini pengertian timbal balik, koordinatif.
     
LINGKUP LOKAL 
     Penanganan perencanaan pembangunan ditingkat local seperti Kodya atau kabupaten ini biasanya dibebankan pada dinas-dinas,
     contoh: Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Kesehatan, Dinas PDAM.
     Koordinasi perencanaan berdasarkan Kepres No.27 tahun 1980 dilakukan oleh BAPPEDA Tk.II. 
     
LINGKUP SWASTA 
      Lingkup kegiatan perencanaan oleh swasta di Indonesia semula memang hanya terbatas pada skalanya seperti pada perencanaan perumahan, jaringan utiliyas, pusat perbelanjaan dll. 
     Dewasa ini lingkup skalanya sudah luas dan hampir tidak terbatas.
     Badan-badan usaha konsultan swasta yang menjamur adalah indikasi keterlibatan swasta yang makin meluas. Semakin luasnya lingkup swasta didasari pada berkembangnya tuntutan layanan yang semakin luas dan profesionalisme.
     Kewenangan pihak swasta yang semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri bagi Instansi pemerinta maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi tolok ukur bagi tiap-tiap kompetitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan/produk. 
     Pihak swasta terkecil adalah individu atau perorangan. Peran individu juga sangat berpengaruh terhadap pola perencanaan pembangunan secara keseluruhan.
     

UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1964

UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 1964

TENTANG
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN SWASTA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk lbih menjamin ketentraman dan kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil dan makmur, seperti yang tersebut dalam manifesto politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan kerja di Perusahaan Swasta

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1, pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar;
2. undang-undang No. 10 Prp Tahun 1960 jo Keputusan Presiden No. 239 Tahun 1964;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.

MEMUTUSKAN :
I. Mencabut ; "Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese Arbeiders" (Staatblad 1941 No. 396) dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan hubungan kerja seperti tersebut di dalam undang-undang Hukum Perdata pasal 1601 sampai dengan 1603 Oud dan pasal 1601 sampai dengan 1603, yang berlawanan dengan ketentuan tersebut di dalam Undang-undang ini.
II. Menetapkan : Undang-undang tentang pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Pasal 1

(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. selama buruh berhalangan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya atau yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2

Bila telah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.

Pasal 3

(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termasuk dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termasuk dalam pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-basaran .
(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4

Izin termasuk dalam pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5

(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemogokan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6

Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan.

Pasal 7

(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.
(2) Dalam hal Panitia Daerah dan Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya.
(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur didalam Peraturan Menteri Perburuhan.
(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut diatas.

Pasal 8

Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut dalam pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi Buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9

Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dalan tingkat banding.

Pasal 10

Pemutusan hubungan kerja tanpa izin tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11

Selama izin termaksud dalam pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12

Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.

Pasal 14

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 1964
Pd. Presiden republik Indonesia
ttd
Dr. Subandrio

UU No. 12 Th. 1948 tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh

BAGIAN IV
TENTANG WAKTU KERJA DAN WAKTU ISTIRAHAT

Pasal 10
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam ayat (1).
(3) Tiap-tiap minggu harus diadakan sedikit-sedikitnya satu hari istirahat.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh termaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam Peraturan Pemerintah dapat pula diadakan aturanaturan lebih lanjut tentang waktu kerja dan waktu istirahat untuk pekerjaan-pekerjaan atau perusahaanperusahaan yang tertentu yang dipandang perlu untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.

Pasal 11
Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan pada hari-hari raya, yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, kecuali jikalau pekerjaan itu menurut sifatnya harus dijalankan terus pada hari-hari raya itu.

Pasal 12
(1) Dalam hal-hal, dimana pada suatu waktu atau biasanya pada tiap-tiap waktu atau dalam masa yang tertentu ada pekerjaan yang bertimbun-timbun yang harus lekas diselesaikan, boleh dijalankan pekerjaan dengan menyimpang dari yang ditetapkan dalam pasal 10 dan 11, akan tetapi waktu kerja itu tidak boleh lebih dari 54 jam seminggu.
Aturan ini tidak berlaku terhadap pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan hal-hal termaksud dalam ayat (1) beserta syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh.

Pasal 13
(1) Buruh Wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidh;
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(3) Waktu istirahat sebelum saat buruh wanita menurut perhitungan akan melahirkan anak, dapat diperpanjang sampai selama-lamanya tiga bulan jikalau didalam suatu keterangan dokter dinyatakan, bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.
(4) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) buruh wanita yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anaknya, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu-kerja.

Pasal 14
(1) Selain waktu istirahat seperti tersebut dalam pasal 10 dan 13, buruh yang menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari satu organisasi harus diberi idzin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun.
(2) Buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut pada suatu majikan atau beberapa majikan yang tergabung dalam satu organisasi mampunyai hak istirahat 3 bulan lamanya.

Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi yang telah ditetapkan dalam pasal 10 ayat (1) dan (2), buruh harus diberi kesempatan yang sepatutnya untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya.
(2) Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.

Hukum dan Perjanjian

       Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan perjanjian pinjam - meminjam.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 
Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji - janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan. Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa. 
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu pokok persoalan tertentu.
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya. 
Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Walaupun kemudian mungkin yang bersangkutan tidak membuka surat itu, adalah menjadi tanggungannya sendiri. Sepantasnyalah yang bersangkutan membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, karena perjanjian sudah lahir. Perjanjian yang sudah lahir tidak dapat ditarik kembali tanpa izin pihak lawan. Saat atau detik lahirnya perjanjian adalah penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut, misalnya dalam pelaksanaannya atau masalah beralihnya suatu risiko dalam suatu peijanjian jual beli.
Tempat tinggal (domisili) pihak yang mengadakan penawaran (offerte) itu berlaku sebagai tempat lahirnya atau ditutupnya perjanjian. Tempat inipun menjadi hal yang penting untuk menetapkan hukum manakah yang akan berlaku. Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari: bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan bukti sumpah.
Perjanjian harus ada kata sepakat kedua belah pihak karena perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian adalah perbuatan-perbuatan yang untuk terjadinya disyaratkan adanya kata sepakat antara dua orang atau lebih, jadi merupakan persetujuan. Keharusan adanya kata sepakat dalam hukum perjanjian ini dikenal dengan asas konsensualisme. asas ini adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat.
Syarat pertama di atas menunjukkan kata sepakat, maka dengan kata-kata itu perjanjian sudah sah mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Untuk membuktikan kata sepakat ada kalanya dibuat akte baik autentik maupun tidak, tetapi tanpa itupun sebetulnya sudah terjadi perjanjian, hanya saja perjanjian yang dibuat dengan akte autentik telah memenuhi persyaratan formil.
Subyek hukum atau pribadi yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian atau wali/kuasa hukumnya pada saat terjadinya perjanjian dengan kata sepakat itu dikenal dengan asas kepribadian. Dalam praktek, para pihak tersebut lebih sering disebut sebagai debitur dan kreditur. Debitur adalah yang berhutang atau yang berkewajiban mengembalikan, atau menyerahkan, atau melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Sedangkan kreditur adalah pihak yang berhak menagih atau meminta kembali barang, atau menuntut sesuatu untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Berdasar kesepakatan pula, bahwa perjanjian itu dimungkinkan tidak hanya mengikat diri dari orang yang melakukan perjanjian saja tetapi juga mengikat orang lain atau pihak ketiga, perjanjian garansi termasuk perjanjian yang mengikat pihak ketiga .
Causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu perjanjian yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Berangkat dari causa ini maka yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi isi dan tujuan sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan sah. Yang dimaksud dengan causa dalam hukum perjanjian adalah suatu sebab yang halal. Pada saat terjadinya kesepakatan untuk menyerahkan suatu barang, maka barang yang akan diserahkan itu harus halal, atau perbuatan yang dijanjikan untuk dilakukan itu harus halal. Jadi setiap perjanjian pasti mempunyai causa, dan causa tersebut haruslah halal. Jika causanya palsu maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan. Isi perjanjian yang dilarang atau bertentangan dengan undang-undang atau dengan kata lain tidak halal, dapat dilacak dari peraturan perundang-undangan, yang biasanya berupa pelanggaran atau kejahatan yang merugikan pihak lain sehingga bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Adapun isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan cukap sukar ditentukan, sebab hal ini berkaitan dengan kebiasaan suatu masyarakat sedangkan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai tata tertib kesusilaan yang berbeda-beda. 
Secara mendasar perjanjian dibedakan menurut sifat yaitu:
1.      Perjanjian Konsensuil
Adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian.
2.      Perjanjian Riil
Adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.
3.      Perjanjian Formil
Adalah perjanjian di samping sepakat juga penuangan dalam suatu bentuk atau disertai formalitas tertentu.
Perikatan hapus:
1.      Pembayaran.
2.      Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.      Pembaruan utang.
4.      Perjumpaanutangataukompensasi.
5.      percampuran utang, karena pembebasan utang, karena musnahnya barang yang terutang.
6.      Kebatalan atau pembatalan.
7.      Berlakunya suatu syarat pembatalan, karena lewat waktu. 
Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.

Undang Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang : Penataan Ruang

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 24 TAHUN 1992 (24/1992)
Tanggal : 13 OKTOBER 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/115; TLN NO. 3501
 
 BAB I
KETENTUAN UMUM
Menjelaskan tentang penataan ruang sebagai mana fungsinya,
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Penataan ruang berasaskan:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya
guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Penataan ruang bertujuan:
a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung
dan kawasan budi daya;
c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud
(1) Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan
nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas
ruang.

BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
Bagian Kedua
Perencanaan
Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan
Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas
rencana tata ruang.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.

BAB V
RENCANA TATA RUANG
Rencana tata ruang dibedakan atas:
a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II.

BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN
Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundangundangan
yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG
1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi
manusia dan makhluk lainnya hidup, dan melakukan kegiatannya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi
dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan
pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan
hidup yang berkualitas.
2. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara
meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen
di sekitarnya, di mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau
kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
3. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan
penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang
atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan,
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
4. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari
berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing
subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung
yang berbeda satu dengan yang lainnya.
5. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan
peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem yang
harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna
menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang.